Nasehat Ayah



Sore itu setelah pulang kerja ayah duduk di taman belakang rumah. Dengan masih berseragam kerja ayah memanggilku untuk duduk bersantai di pojokan dekat kolam.  Aku senang, tanda bahwa Ayah akan memberikanku nasihat yang baik seperti biasanya.
“Pi, ada sebuah nasihat kecil yang ingin Ayah sampaikan. Berhubung kau akan merantau lagi untuk beberapa tahun ke depan di Surabaya. Ayah bangga karena anak Ayah mempunyai semangat tinggi dalam belajar, pun ayah senang karena kau berani untuk melangkah lebih jauh dari ayah.  Tapi ayah juga sedih karena tidak bisa menemani mu dan adikmu untuk belajar di kota orang. Untuk itu, Ayah ingin membekalimu dengan nasihat,” ujar ayah sambil meletakkan koran yang sedari tadi hanya dipegang saja.
“Kalau kau bisa menjadi tidak terkenal, Maka lakukanlah dan ketika kau sudah menyelesaikan pendidikanmu, segeralah pulang.!” kata ayah.
Aku memahami maksud kata-katanya, karena sebelumnya saat aku menyelesaikan gelar sarjana, banyak sekali kegiatan yang ku ikuti hingga pujian yang kudapatkan seringkali kuceritakan pada ayah.
aku mengerutkan dahi dan mencoba bertanya kembali,“Maksud Ayah?”
“Pi, Ayah mungkin tidak lebih pandai dari mu tentang kehidupan saat ini. Akan tetapi, Ayah amati banyak orang ingin tampil dan sengaja menampilkan dirinya agar dikenal dan menjadi terkenal. Bahkan ada yang rela membayar untuk itu, agar terkenal. PI, sekali-kali pujian manusia itu tidak meningkatkan derajatmu di sisi Allah. Sama sekali tidak. Cacian manusia pun tidak akan menurunkan derajatmu di sisi Allah, sama sekali tidak.”
Ayah berhenti sejenak, mengambil toples tempat makan ikan sambil kemudian ditaburkan ayah ke kolam.
“Berkatalah yang baik atau diam.” lanjut Ayah.
“Pi, perempuan itu adalah aurat. Maka, apapun yang ada padanya adalah aurat. Dan pemahaman tertinggi dari sebuah ilmu adalah pengamalan. Kalau sudah paham bahwa itu adalah aurat, maka lindungilah. Ayah mungkin terlalu kolot soal itu. Tapi itulah tugas seorang Ayah. Menjaga keluarganya dari keburukan. Keterkenalan itu rawan menjatuhkan kehormatanmu, rawan pada fitnah, rawan pada keburukan. Hari ini, banyak orang yang dimudahkan untuk berbuat buruk. Ditoleransi karena dianggap kreatif, diberi ruang karena dianggap kebebasan berekspresi. Pi, kebebasan tertinggi justru ada saat kita tahu batasan kebebasan. Tidak ada posisi tertinggi jika tidak ada batasnya.”
Aku menyimak baik-baik sekaligus terharu.
“Hiduplah dengan sederhana. Sederhana dalam hidup, tapi tidak dalam berbuat baik.”
Aku mengiyakan nasehata ayah, sembari dalam hati menguntai doa-doa agar aku dapat membahagiakannya juga membahagiakan ibu.
Ayah menambahkan, 
"Jagalah pula adikmu selama disana, berilah ia contoh yang baik agar kelak kalian berdua menjadi anak yang sukses tidak hanya di dunia yang sementara ini, tapi juga di akhirat"

“Ayah merestuimu untuk kembali merantau"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terimakasih tetap bertahan

Assalamualaikum Jogja 2

Magang